KOMPAS.com – “Kita sering kali lupa kebenaran sederhana bahwa anak usia dini adalah simbol keberlangsungan hidup manusia.”
Kutipan tersebut disampaikan President and CEO Childhood International, Diane Whitehead, dalam konferensi Asia-Pacific Regional Network for Early Childhood (ARNEC) yang digelar di Manila, Juli 2025.
“Kalimat Diane tersebut mengingatkan kita akan Hari Anak Nasional setiap 23 Juli. Kami mengunggah poster, membuat acara, membagikan bingkisan. Namun, setelah panggung dibongkar, saya selalu bertanya: apakah setiap anak Indonesia sungguh merasakan keadilan dan inklusi atau hanya sebagian kecil yang beruntung?” kata Anggota ECED Council Indonesia sekaligus Sekretaris Koalisi Nasional PAUD HI, dan Kandidat PhD Universitas Waikato, Selandia Baru, Dwi Purwestri Sri Suwarningsih.
Dwi menjelaskan, saat ini kita hidup di tengah berbagai krisis dengan dampak perubahan iklim, konflik sosial, dan ketimpangan struktural yang membayangi Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
“Di balik statistik pembangunan, masih banyak anak yang hak dasarnya terabaikan, bahkan terlanggar,” ujar Dwi.
Menurutnya, situasi ini paling berdampak pada anak usia dini karena pemenuhan hak mereka sangat bergantung pada orang dewasa, mulai dari keluarga, komunitas, hingga negara.
Baca juga: Bayi Dijual ke Singapura Paling Banyak dari Kabupaten Bandung, Masalah Serius Keluarga
“Kalau orang dewasanya tidak siap, anak-anaklah yang membayar harga kegagalan itu,” tegasnya.
Konferensi ARNEC 2025 diselenggarakan pada 1–3 Juli 2025 di Manila, Filipina. Dwi hadir dan pulang membawa catatan penting.
“Inklusi tidak boleh lagi menjadi formalitas pembukaan acara. Ini seruan darurat. Ada hak anak yang tidak terpenuhi dan tidak terlindungi, terutama anak usia dini,” kata Dwi.
Dalam pidato utama, Diane Whitehead menegaskan bahwa setiap anak, tanpa memandang gender, disabilitas, atau latar belakang etnis, memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang.
“Pesan itu sederhana tetapi kuat: kita harus bergerak bersama membangun dunia yang layak bagi semua anak, dan pada akhirnya bagi seluruh manusia,” ujar Dwi.
Ia juga menyoroti paparan UNESCO yang dibawakan Rokhaya Diawara. Rokhaya mengingatkan pentingnya data terpilah untuk anak-anak dari kelompok termarjinalkan, yang sering kali tidak terdeteksi sistem karena lemahnya pemantauan.
Baca juga: Upayakan Anak Kurang Mampu Bisa Kuliah, Gubernur Kalteng Rancang Kartu Mahasiswa Sejahtera
“Kalau datanya tidak ada, kebijakannya ke mana? Tanpa keberpihakan berbasis bukti, inklusi akan berhenti menjadi slogan. Kita harus berani mengalokasikan sumber daya untuk kelompok yang paling tertinggal,” kata Dwi.
Kisah dari lapangan mengenai kelompok termarjinalkan ini disuarakan dengan kuat oleh Vibhu Sharma dari organisasi Theirworld.
Sebagai perempuan yang memiliki hambatan penglihatan, Vibhu mengajak peserta konferensi untuk melihat kembali sistem yang selama ini gagal melihat anak-anak dengan disabilitas sebagai pihak utama yang harus diprioritaskan dalam pembangunan.
Ia menyampaikan bahwa “tragedi sebenarnya bukan terletak pada disabilitas, melainkan pada sistem yang menutup mata terhadap keberadaan dan potensi penyandang disabilitas”.
Dalam pengalaman hidupnya, Vibhu menggambarkan bagaimana lingkungan belajar yang eksklusif memperbesar hambatan, bukan hanya untuk akses pendidikan, tetapi juga untuk membangun identitas dan rasa percaya diri anak.
Seorang ibu dari anak disabilitas, Marry Grace Torres juga berbagi bahwa pengasuhan adalah perjalanan cinta, kekuatan, dan ketangguhan. Saat menjalankan peran pengasuhan dan mendorong terpenuhinya hak-hak anak, kita membuka jalan untuk kesuksesan dan kebahagiaan pada anak disabilitas.
Baca juga: Momen Gibran Turun Mobil Salami Penyandang Disabilitas di Solo
"Dua narasumber lain yaitu Doktor (Dr) Vibha Krishnamurthy dari India dan Profesor (Prof) Vina Adriany dari Indonesia memberi saya lensa ganda tentang keadilan dan inklusi," sambung Dwi.
Mereka sepakat bahwa pendekatan universal tidak cukup untuk menjangkau anak-anak yang paling rentan; layanan harus responsif terhadap kebutuhan kontekstual dan identitas anak.
Dr Vibha menekankan pendekatan berbasis komunitas dan keluarga untuk anak dengan disabilitas, menggeser fokus dari kekurangan secara medis ke potensi holistik anak.
Sementara Profesor Vina menyoroti pentingnya kesadaran gender dan kebebasan megembangkan kurikulum agar anak tidak sekadar menjadi objek pembangunan, melainkan pemilik suara dalam sistem.
"Keduanya menekankan kita perlu transformasi struktural, penguatan kapasitas tenaga layanan, dan pembaruan nilai-nilai dalam sistem PAUD kita untuk membangun masa depan lebih adil," tegas Dwi.
Krisis iklim juga menjadi salah satu yang disorot dalam Konferensi ARNEC, karena berhubungan erat dengan krisis hak anak.
Baca juga: Cerita Zazkia, Anak Supir Raih Beasiswa Garuda buat Kuliah ke Kanada
Dalam diskusi Kelompok Kerja Perubahan Iklim ARNEC, disampaikan bahwa anak-anak usia dini di daerah pesisir, wilayah rawan banjir, atau komunitas adat menghadapi risiko ganda, yaitu kehilangan tempat tinggal sekaligus kehilangan akses layanan pengembangan anak.
"Bayangkan pos PAUD yang terendam air atau jalan terputus. Anak usia dini itu tidak bisa menunggu siklus proyek berikutnya," ujar Dwi.
Dalam sesi pleno, Profesor Alan Stein mengingatkan bahaya risiko kumulatif: "Ketika anak menghadapi kemiskinan, pembatasan akses layanan, dan ancaman lingkungan secara bersamaan, dampaknya menumpuk dan memengaruhi perkembangan jangka panjang."
Menghadapi krisis iklim ini, ada beberapa pendekatan kreatif yang menjadi respons PAUD lokal, di antaranya:
“Melalui berbagai pembahasan dalam konferensi ini, kita diingatkan bahwa inklusi dan adil bukan berarti memberi yang sama kepada semua anak, tetapi memberi yang paling dibutuhkan kepada mereka yang paling tertinggal,” kata Dwi.
Dalam dunia yang berubah cepat, keadilan untuk anak tidak boleh ditunda. Dibutuhkan keberanian politik, reformasi kebijakan, investasi pada infrastruktur layanan yang adaptif.
Baca juga: Matematika, Masa Depan, dan Keniscayaan Investasi Pendidikan Anak Indonesia
Tak kalah penting, diperlukan pula kesediaan untuk mendengarkan suara anak-anak dan komunitas mereka sendiri dalam merancang masa depan yang lebih adil dan inklusif.
Menjelang Hari Anak Nasional pada 23 Juli 2025, Dwi menyerukan agar momentum dimanfaatkan sebagai panggilan aksi, bukan sekadar perayaan simbolik.
"Kalau kita serius ingin Indonesia hadir untuk semua anak, ini lima langkah prioritas yang bisa langsung kita dorong," kata Dwi.
1. Perkuat kebijakan PAUD berbasis keadilan dan inklusi
Kebijakan harus menyebut kelompok rentan secara eksplisit, disabilitas, minoritas, komunitas adat, wilayah tertinggal, dan anak terdampak krisis iklim.
2. Bangun sistem layanan tangguh krisis (climate, sosial, ekonomi)
Audit risiko, perkuat infrastruktur tahan bencana, dan siapkan protokol layanan darurat untuk PAUD.
3. Tingkatkan kapasitas penyedia layanan dan orang tua atau pengasuh utama
Pelatihan tidak boleh hanya pedagogi; harus mencakup inklusi, disabilitas, gender, kesehatan mental, dan adaptasi iklim.
4. Dorong inovasi lokal berbasis konteks
"Solusi Jakarta belum tentu cocok untuk Papua atau Kepulauan Aru. Beri ruang untuk praktik lokal yang relevan dengan budaya masing-masing," jelas Dwi
5. Dengarkan suara anak
Sedini apa pun usia mereka, anak bisa memberi sinyal kenyamanan, minat, dan kebutuhan.
“Jangan jadikan mereka objek proyek; jadikan mereka subyek perubahan," pungkas Dwi
"Mari jadikan Hari Anak Nasional bukan hanya acara tahunan. Pastikan setiap anak Indonesia tidak sekadar bertahan hidup (survive), tetapi juga berkembang pesat (thrive)," kata Dwi.
Baca juga: Wamendikdasmen Soroti Penggunaan Gadget pada Anak Usia Dini, Berisiko Brain Rot
Hak anak usia dini, tegasnya, mencakup tiga hal minimum: hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk terlindungi dari segala risiko, dan hak untuk didengarkan, bahkan ketika anak belum lancar bicara.
Dwi menutup dengan peringatan yang dipetik dari pesan Vibhu Sharma: "Kita tidak bisa menunggu generasi berikutnya untuk bertindak. Generasi anak yang gagal kita perjuangkan hari ini akan dibayar dengan dampaknya esok."