KOMPAS.com - Ketika berbicara tentang pendidikan anak usia dini ( PAUD), sering kali suara yang terdengar adalah suara orang dewasa, bukan anak-anak yang menjadi subjek utama dari proses ini.
Padahal, sejak dalam kandungan hingga usia enam tahun, seorang anak mengalami pertumbuhan otak dan perkembangan sosial-emosional yang luar biasa cepat, masa yang tidak bisa diulang.
Namun, apakah sistem, kebijakan, dan lingkungan kita sudah cukup siap untuk mengiringi masa krusial ini? Apakah kita, sebagai masyarakat, masih melihat PAUD sebagai beban negara atau justru sebagai tanggung jawab bersama?
Untuk menjawab tantangan tersebut, lahirlah sebuah forum sinergi lintas sektor bernama Early Childhood and Education Development (ECED) Council pada 2024.
Didorong oleh Tanoto Foundation dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya, ECED Council hadir sebagai ruang kolaborasi antara akademisi, peneliti, praktisi, serta tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang yang memiliki perhatian besar terhadap tumbuh kembang anak usia dini.
Baca juga: Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif dalam Perencanaan Negara
ECED Council tidak dibentuk untuk menggantikan peran institusi yang sudah ada.
Sebaliknya, wadah tersebut menjadi jembatan kolaboratif yang menyatukan pengetahuan, praktik baik, dan agenda advokasi lintas sektor untuk menciptakan ekosistem yang mendukung anak belajar sejak lahir.
ECED Council hadir melalui pendekatan yang menempatkan anak sebagai subjek pemilik hak, bukan hanya sekadar objek investasi masa depan. Organisasi ini pun mendorong perubahan cara pandang terhadap pendidikan usia dini.
Hal tersebut bukan hanya tentang sekolah, tetapi tentang pengasuhan, stimulasi, dan lingkungan yang peduli sejak hari pertama kehidupan.
Baca juga: Dampak Sabu: Efek Buruk bagi Kesehatan hingga Kehidupan
Ilmu saraf dan psikologi perkembangan telah membuktikan bahwa lima tahun pertama kehidupan adalah periode emas dalam perkembangan manusia.
Di masa ini, otak berkembang sangat cepat hingga mencapai 90 persen dari ukuran otak dewasa dan paling elastis atau fleksibel terhadap stimulasi.
Lima fakta penting yang tak bisa diabaikan:
Artinya, jika masa ini terlewat tanpa stimulasi dan pengasuhan yang memadai, dampaknya bisa berlangsung seumur hidup.
Tidak hanya pada performa akademik, tetapi juga pada kesehatan mental, keterampilan sosial, bahkan produktivitas ekonomi seseorang pada masa depan.
Baca juga: 10 Tahun Midiatama Academy, Dorong Inovasi dan Kolaborasi untuk Masa Depan K3 Lebih Tangguh
Dalam diskusi global seputar PAUD, perdebatan kerap mengerucut pada dua kutub utama: apakah PAUD adalah bentuk investasi masa depan, atau pemenuhan hak dasar anak sejak lahir?
Pandangan pertama, PAUD sebagai investasi mendapat penguatan dari pendekatan ekonomi yang dikembangkan oleh James J Heckman, ekonom peraih Nobel yang mendedikasikan penelitian panjangnya untuk memahami dampak pendidikan anak usia dini terhadap individu dan masyarakat.
Kebijakan PAUD sering kali dibingkai dalam dua pendekatan besar: sebagai investasi ekonomi, atau sebagai pemenuhan hak dasar anak.
Melalui dua studi besar di Amerika Serikat—High/Scope Perry Preschool di Michigan (dimulai tahun 1962) dan program Abecedarian/CARE di Carolina Utara (dimulai pada 1972), Heckman meneliti efek jangka panjang program PAUD berkualitas tinggi terhadap anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah.
Anak-anak ini dianggap rentan mengalami kegagalan dalam pendidikan formal, kesehatan, dan kehidupan sosial-ekonomi.
Baca juga: Undangan Tersebar di Media Sosial, Luna Maya dan Maxime Bouttier Disebut Menikah pada 7 Mei 2025
Studi pertama menunjukkan bahwa setiap dolar yang diinvestasikan dalam program prasekolah berkualitas memberikan pengembalian 7 persen hingga 10 persen per tahun.
Manfaat itu berasal dari peningkatan prestasi pendidikan dan karier anak-anak, serta penghematan dalam bidang kesehatan, pendidikan remedial, hingga pengurangan risiko kriminalitas.
Penelitian kedua bahkan menemukan pengembalian yang lebih tinggi, 13 persen per anak per tahun. Ini berkat intervensi menyeluruh sejak usia 0–5 tahun yang berdampak pada kualitas pendidikan, kesehatan, dan produktivitas anak nantinya.
Berangkat dari dua studi itu, Heckman menyimpulkan empat prinsip penting:
Pandangan tersebut diadopsi oleh banyak negara maju, yang lalu meningkatkan anggaran dan perhatian pada sektor PAUD sebagai strategi pembangunan ekonomi jangka panjang.
Baca juga: 40.000 PAUD-SMA/SMK Siap Laksanakan Pembelajaran Koding dan AI di Tahun Ajaran Baru
Namun, pendekatan ekonomi ini juga menimbulkan pertanyaan krusial: Apakah nilai anak hanya diukur dari potensi produktivitas ekonomi mereka saat dewasa?
Bagaimana dengan anak-anak yang memiliki disabilitas, keterbelakangan mental, atau kondisi lain yang membuat mereka mungkin tidak menjadi pelaku ekonomi aktif?
Jika pendekatan investasi menjadi satu-satunya landasan, maka ada risiko bahwa kelompok anak-anak ini tidak akan mendapatkan perlakuan yang setara—padahal mereka pun berhak atas pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan yang layak.
Inilah yang kemudian mendorong perubahan paradigma global: anak usia dini bukan sekadar obyek investasi, tetapi subjek penuh hak asasi manusia (HAM).
Setiap anak, tanpa kecuali, memiliki hak yang melekat sejak lahir untuk berkembang secara optimal terlepas dari kontribusi ekonominya kelak.
Baca juga: Ekonomi Global Tak Stabil, Bitcoin Jadi Peluang Investasi Jangka Panjang
Saatnya bertindak: dari komitmen global ke aksi nasional
Meski bukti ilmiah semakin kuat, pengakuan terhadap pentingnya PAUD dalam kebijakan publik datang secara bertahap.
Pada 1989, Konvensi Hak Anak PBB justru tidak secara eksplisit mengakui pendidikan anak usia dini.
Namun sejak 2015, melalui Sustainable Development Goals (SDGs) dan Deklarasi Incheon, negara-negara mulai berkomitmen menyediakan akses prasekolah minimal satu tahun secara gratis.
Di Asia Tenggara, langkah maju ini diperkuat lewat Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang Early Childhood Care and Education (ECCE) pada Juli 2023, hasil kolaborasi berbagai lembaga, termasuk Tanoto Foundation, SEAMEO CECCEP, UNICEF, ARNEC, dan Direktorat PAUD Kemendikdasmen.
Baca juga: Kemendikdasmen: Kegemaran Membaca di Kalangan Anak Masih Tinggi
Puncaknya, pada Juli 2024, Dewan HAM PBB menyepakati penyusunan optional protocol yang secara eksplisit mengakui pendidikan anak usia dini sebagai bagian dari hak pendidikan.
Hal tersebut bukan hanya momentum simbolik, tetapi tonggak perubahan global dalam memosisikan PAUD sebagai hak, bukan sekadar opsi.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Langkah maju telah dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, di mana pemerintah mencanangkan percepatan wajib belajar 13 tahun, termasuk satu tahun prasekolah.
Hal itu adalah sinyal kuat bahwa PAUD bukan lagi pelengkap, melainkan fondasi sistem pendidikan nasional.
Baca juga: Kapan Pendidikan Profesi Guru 2025 Kemenag Dibuka? Cek Jadwalnya
Namun, tantangannya belum selesai. Akses layanan PAUD masih belum merata, terutama di daerah tertinggal, dan kualitasnya sangat bervariasi.
Di sisi lain, masih banyak orangtua yang belum memahami bahwa proses belajar tidak dimulai saat anak masuk TK belajar dimulai sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan.
Pengasuhan awal oleh keluarga dan lingkungan terdekat sangat krusial. Di sinilah pentingnya membangun ekosistem belajar yang tidak bergantung semata pada institusi pendidikan formal.
Edukasi kepada orangtua, pelatihan pengasuh, pemanfaatan media, serta dukungan lintas sektor menjadi sangat relevan.
Baca juga: Pertamina Hulu Energi Dorong Kemandirian Ekonomi Disabilitas Lewat Pelatihan Life Skill
Mengembangkan anak usia dini bukan tugas tunggal satu pihak.
Pemerintah, dunia pendidikan, komunitas, media, dan sektor swasta memiliki peran masing-masing untuk membentuk lingkungan yang aman, stimulatif, dan penuh kasih sayang.
Di sinilah inisiatif seperti ECED Council memainkan peran penting.
Anak bukan hanya masa depan bangsa, tetapi bagian dari kita hari ini. Mereka punya hak untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat, aman, dan mendukung perkembangan optimalnya.
Baca juga: Mengaku dari Dinas Lingkungan Hidup Riau, 2 Pelaku Pungli Iuran Sampah Ditangkap
Seperti pepatah Afrika yang berbunyi: “It takes a village to raise a child”. Artinya, dibutuhkan satu desa—seluruh komunitas—untuk membesarkan seorang anak.
Masyarakat, khususnya orangtua, merupakan bagian integral dari hal itu. Oleh karena itu, mari bergerak bersama untuk mendukung masa depan anak-anak Indonesia ke depannya.