Pendidikan Inklusi di PAUD, Jadikan Keberagaman sebagai “Kurikulum Hidup”

Kompas.com - 02/05/2025, 13:17 WIB
Inang Sh ,
A P Sari,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

Ilustrasi siswa PAUD berpose bersama.Dok. Tanoto Foundation Ilustrasi siswa PAUD berpose bersama.

KOMPAS.com - Kegiatan live-in atau bermalam bersama para pendidik di desa, tanpa didampingi orangtua menjadi salah satu metode unik untuk menanamkan nilai kemandirian dan empati di pendidikan anak suia dini (PAUD). 

Di PAUD Mutiara Ibu, Purworejo, Jawa Tengah, kegiatan ini rutin dilaksanakan sejak 20 tahun lalu untuk anak-anak TK B berusia 5–6 tahun.

“Melalui live-in, anak-anak belajar berbagi tempat tidur, makanan, cerita sebelum tidur, hingga menghadapi tantangan kecil tanpa bergantung pada orangtua,” ujar Sisilia Maryati, anggota ECED Council Indonesia sekaligus pengelola PAUD Mutiara Ibu, Purworejo, Jawa Tengah.

Salah satu momen yang berkesan dalam kegiatan ini adalah interaksi antara Cyntia, anak bisu-tuli, dengan teman-temannya.

Saat semua anak berkumpul dalam sesi tanya-jawab seru dengan guru untuk persiapan mandi, Cyntia hanya tersenyum dalam keheningan. 

Namun, Keke, salah satu teman sekelasnya, dengan cekatan mengambilkan tas mandi Cyntia dan menggunakan bahasa isyarat sederhana untuk membantunya bersiap mandi.

“Tidak ada guru yang memerintah, tidak ada pelatihan formal, yang ada hanyalah empati murni dari seorang anak kepada sahabatnya. Ini adalah bukti nyata nilai kemanusiaan bisa tumbuh alami sejak dini,” kata Sisilia.

Sisilia bersyukur, di saat dunia pendidikan masa kini terburu-buru menilai anak dari prestasi akademik, masih ada contoh nilai-nilai kemanusiaan tertanam pada anak usia dini yang mencerminkan kesetaraan, kepedulian, serta penerimaan tanpa syarat. 

Inklusi bukan sekadar menerima, tetapi harus dihidupi

Menurut Sisilia, pendidikan inklusi di PAUD bukan sekadar membuka pintu bagi anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama anak lain. Lebih dalam, inklusi adalah komitmen sadar untuk menghadirkan ruang belajar bermutu, ramah, dan setara untuk semua anak.

Inklusi berarti ketika setiap anak, tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, atau emosionalnya, bisa belajar, bermain, dan bertumbuh bersama. 

"Dalam ruang inklusi, anak seperti Cyntia yang bisu-tuli, atau anak-anak lain yang mungkin menghadapi hambatan perkembangan, tidak dipandang sebagai "beban", melainkan bagian alami dari komunitas belajar," kata Sisilia.

Ia mengatakan, setiap kebutuhan khusus sejatinya bukanlah penghalang, tetapi undangan untuk memperluas kreativitas pengajar, memperkaya strategi belajar, dan memperdalam rasa kemanusiaan.

“Dalam ruang inklusi, keberagaman menjadi kurikulum hidup. Anak-anak belajar bahwa teman yang berbeda bukan untuk dikasihani, melainkan untuk dirangkul,” ucapnya.

Mereka belajar untuk menunggu, untuk berkomunikasi dengan berbagai cara, untuk saling membantu. Ini adalah investasi jangka panjang, sebab, anak-anak yang tumbuh dalam budaya inklusi dapat menjadi generasi yang lebih adil, terbuka, dan kuat di masyarakat yang plural. 

Pendidikan inklusi, lanjutnya, bukan hanya menguntungkan anak berkebutuhan khusus, tetapi memperkaya semua anak dalam aspek empati, komunikasi multibahasa (termasuk isyarat tubuh dan ekspresi wajah), pemecahan masalah, hingga ketahanan sosial emosional.

"Anak-anak belajar bahwa keberhasilan bukan soal siapa yang tercepat atau terpandai, tetapi tentang siapa yang mampu merangkul yang lain dalam proses perjalanan," kata Sisilia. 

Ia menyebutkan anak yang sejak kecil terbiasa membantu teman yang lambat merespons atau memahami bahasa isyarat, kelak akan lebih siap bekerja dalam tim yang beragam, lebih sabar membimbing, dan lebih peka terhadap keunikan individu. 

Kekuatan tersembunyi pendidikan inklusi ini, tidak dapat diajarkan melalui papan tulis tetapi tumbuh melalui interaksi sehari-hari. Inilah investasi jangka panjang sesungguhnya. 

Tantangan pendidian inklusi di lapangan

Meski manfaat pendidikan inklusi sangat besar, Sisilia tidak menampik masih banyak tantangan di lapangan. Ia menilai masih banyak satuan PAUD yang merasa tidak siap menerima anak berkebutuhan khusus, baik karena keterbatasan sumber daya maupun kurangnya pelatihan guru.

“Kadang anak diterima secara administratif saja, tapi tidak benar-benar diupayakan keterlibatannya dalam kelas. Ini jauh dari semangat inklusi sejati,” tegasnya.

Menurut Sisilia, inklusi sejati harus disertai dukungan individual kepada setiap anak. Ia menekankan pentingnya refleksi rutin, membangun budaya bebas stigma, serta memberi ruang pemahaman kepada anak-anak tentang keberagaman sejak dini.

“Pertemuan dengan perbedaan tidak boleh datang tiba-tiba. Anak usia dini perlu waktu dan aktivitas bermakna sebagai jembatan untuk memahami teman yang berbeda. Tugas membangun jembatan ini ada di pendidik dan orangtua,” kata Sisilia.

Ilustrasi guru dan siswa PAUD.Dok. Tanoto Foundation Ilustrasi guru dan siswa PAUD.

Rekomendasi membangun PAUD inklusif

Dari pengalaman dua dekade mengelola PAUD inklusi, Sisilia mengusulkan beberapa langkah konkret untuk membangun ekosistem PAUD yang inklusif di masa depan. 

Sebab, mengelola PAUD inklusi bukan sekadar menyiapkan sarana saja, tetapi perlu membangun kesiapan semua orang untuk menerima keberagaman. 

Pertama, diperlukan pelatihan guru yang terstruktur dan berjenjang. Materi pelatihan harus mencakup melatih kemampuan melakukan identifikasi dini terhadap hambatan perkembangan, memahami beragam karakteristik dari anak yang memiliki kebutuhan khusus, serta keterampilan menyusun Rencana Pembelajaran Individual (RPI) yang konkret dan bisa dipraktikkan. 

Guru butuh dibekali metode yang mendorong kolaborasi antarteman sebaya agar anak-anak terlibat aktif dalam mendukung teman yang mengalami hambatan.

"Jadi guru bukan hanya fasilitator pembelajaran, melainkan juga penggerak budaya inklusi di ruang kelas," kata Sisilia. 

Kedua, penguatan peran orangtua menjadi kunci penting. Program pengasuhan inklusif berbasis komunitas harus dirancang agar orangtua memahami pentingnya mendukung keberagaman dalam kehidupan sehari-hari.

"Orangtua diajak memahami bahwa mendukung perbedaan tidak cukup hanya menerima, tetapi butuh jadi bagian aktif dari ekosistem untuk tumbuh bersama dalam perbedaan," jelasnya. 

Pemahaman ini dapat dilakukan melalui workshop, diskusi komunitas, berbagi pengalaman antar keluarga, serta membangun kemitraan sejati dengan guru dalam menciptakan lingkungan belajar ramah dan inklusif.  

Ketiga, perlu disediakan lingkungan fisik dan alat bantu sederhana yang mendukung pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Kreativitas dalam memanfaatkan sumber daya lokal bisa menjadi solusi.

“Tidak harus mahal, bahkan gambar ekspresif di dinding kelas atau pojok sensorik sederhana bisa membuat perbedaan besar,” tambahnya.

Bisa juga melalui papan komunikasi visual bagi anak dengan hambatan bicara atau penyediaan jalur akses yang aman untuk anak dengan keterbatasan mobilitas. 

"Tujuannya agar anak merasa nyaman dan mau berpartisipasi aktif dalam proses belajar," ujar Sisilia. 

Keempat, kampanye berbasis komunitas (forum, pameran karya anak, festival) dan digital (media sosial) efektif untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap pendidikan inklusi.

“Kisah-kisah sederhana seperti Cyntia dan Keke harus terus disebarkan agar menumbuhkan empati kolektif yang membangun lahirnya penerimaan dan kebanggaan terhadap keberagaman,” ujarnya.

Terakhir, monitoring dan evaluasi berkelanjutan terhadap pendidik  dan orangtua agar semangat inklusi tidak hanya berhenti di konsep, tetapi mampu terwujud nyata dalam praktik harian.

Pendidikan inklusi bukan sekadar program tambahan menerima anak dengan perbedaan. Ini tentang membangun ruang hidup yang kaya warna. Tempat semua anak tumbuh dengan percaya diri, dihargai, didukung, dan diajak maju bersama," katanya.  

Ia mengingatkan, hal terpenting bahwa inklusi bukan hal instan, butuh ditanam dan dipupuk dalam kegiatan sehari-hari anak. 

"Semua berangkat dari keyakinan sederhana yaitu setiap anak berhak tumbuh dalam dunia yang mengakui dan merayakan keberadaannya," pungkas Sisilia.

Terkini Lainnya

Copyright 2008 - 2023 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke