KOMPAS.com – Kesiapan emosional anak sebelum memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) kerap terlupakan. Sebab, masyarakat masih memandang kesiapan anak bersekolah hanya dari segi material dan budaya.
Padahal, transisi dari pendidikan anak usia dini (PAUD) ke SD merupakan fase penting bagi anak. Oleh karena itu, kesiapan emosional anak sama pentingnya dengan kesiapan akademik dan sosial.
Salah satu dosen Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Nusa Cendana Kupang yang juga anggota Early Childhood Education and Development (ECED) Council Indonesia, Beatriks Novianti Bunga, pernah melakukan penelitian terkait persepsi orangtua memaknai kesiapan anak bersekolah pada 2023.
Menggunakan pendekatan kualitatif, ia fokus meneliti di tiga kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu di Timor Tengah Selatan, Flores, dan Sumba.
Beatriks menemukan hal yang menarik dari penelitiannya. Mayoritas orangtua di tiga kabupaten tersebut lebih fokus menyiapkan ritual adat dan finansial bagi anaknya sebelum masuk SD.
Baca juga: Menggeser Paradigma PAUD, dari Objek Investasi Jadi Subjek Hak Anak
Ritual adat dilakukan agar anak dijaga leluruh. Kemudian, kesiapan finansial yang fisediakan meliputi seragam, buku, dan biaya sekolah.
Orangtua di tiga wilayah itu, jelas Beatriks, menyiapkan sekolah anak-anak mereka dengan sangat serius. Semua itu adalah bentuk kasih sayang dan tanggung jawab yang patut dihargai.
Namun, saat ditanya soal karakter sekolah yang akan dipilih, seperti kurikulum, metode pengajaran, atau pendekatan gurunya, para orangtua tidak memprioritaskan hal tersebut.
Fokus utama mereka adalah memastikan anak-anak siap secara materi dan mengikuti tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun.
“Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan sekolah dipengaruhi secara kuat oleh konteks sosial, budaya, dan ekonomi. Namun, satu aspek yang kerap luput dari perhatian adalah kesiapan emosional anak itu sendiri,” terang Beatriks melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com, Jumat (18/4/2025).
Beatriks menyebutkan, bagi banyak anak, masuk SD bukan hanya sekadar berpindah bangku belajar. Mereka mulai menghadapi rutinitas yang lebih padat, struktur yang lebih kaku, serta ekspektasi yang tinggi dari lingkungan.
Meski demikian, banyak orangtua tidak menyadari bahwa perubahan ini bisa menjadi tantangan besar bagi anak dan perlu kesiapan psikologis yang matang.
Sistem sekolah yang kaku sering kali menambah tantangan. Semisal, jam masuk yang terlalu pagi, tugas rumah (PR) yang membebani, serta lingkungan sekolah yang minim ruang bermain.
Akibatnya, tidak jarang pagi hari menjadi momen penuh ketegangan. Anak dimarahi karena belum bangun, belum sarapan, belum rapi, dan akhirnya mereka berangkat ke sekolah dengan tangisan.
Di rumah, lanjut Beatriks, PR anak dikerjakan dalam kondisi emosional yang tegang, antara orangtua yang lelah dan anak yang belum sepenuhnya memahami tugas tersebut.
“Dalam kondisi ini, peran orangtua sebagai pendamping belajar justru berubah menjadi sumber tekanan. Kondisi ini dapat memberikan pengalaman traumatis terhadap proses belajar itu sendiri,” jelas Beatriks.
Baca juga: Ingatkan Pentingnya PAUD, Tanoto Foundation, UI dan Kementerian PPN/Bappenas Gelar Symposium on ECED
Sebagian besar orangtua masih berpikir bahwa keberhasilan akademik ditentukan dari kemampuan anak membaca dan menulis sejak dini. Padahal, kemampuan ini hanya satu bagian kecil dari gambaran besar kesiapan anak memasuki dunia sekolah.
Anak yang belum siap secara sosio-emosional bisa mengalami kesulitan beradaptasi. Bahkan, sekalipun anak sudah pandai berhitung atau membaca.
Kesiapan emosional anak juga berkaitan erat dengan sejauh mana orang tua memperkenalkan karakter sekolah yang akan dipilih. Bukan hanya soal jarak, melainkan juga soal metode pengajaran yang digunakan, sikap dan pendekatan guru, ruang bermain dan kegiatan ekstrakurikuler yang tersedia.
Hal-hal tersebut juga membantu anak membangun keterampilan sosial dan emosional serta kepercayaan diri. Anak juga akan lebih mudah memahami nilai dan budaya yang diusung sekolah.
“Cara sederhana, seperti mengajak anak berkunjung ke sekolah sebelum memilihnya, berbincang dengan guru, atau bertanya kepada orangtua lain yang anaknya sudah bersekolah di sana, bisa memberikan gambaran penting tentang pengalaman belajar yang akan dihadapi anak,” papar Beatriks.
Pengalaman langsung ini, menurut Beatriks, juga bermanfaat bagi anak untuk mulai membangun ekspektasi dan persepsi terhadap sekolah barunya.
“Apakah anak merasa senang, nyaman, atau justru ragu? Dalam beberapa kasus, anak yang terlibat dalam proses memilih sekolah justru menunjukkan semangat belajar yang lebih tinggi karena merasa dilibatkan dalam keputusan penting hidupnya,” tuturnya.
Pada akhirnya, sekolah yang baik tidak hanya berorientasi pada pencapaian akademik, bergedung megah, dan akreditasi yang baik, tetapi juga memberikan ruang bagi anak untuk berkembang secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan.
Sekolah adalah tempat yang menghargai setiap proses tumbuh kembang anak, penuh akan kesabaran, perhatian, dan kasih sayang.
Tidak sekadar siap masuk sekolah
Pendidikan dasar adalah awal dari perjalanan panjang seorang anak. Oleh karena itu, persiapan menuju sekolah seharusnya tidak hanya bersifat teknis atau administratif, tetapi menyeluruh yang melibatkan aspek psikologis, sosial, dan emosional.
Anak yang merasa nyaman di sekolah akan lebih termotivasi belajar dan mampu menghadapi tekanan akademik dengan lebih baik.
Dampaknya pun akan terasa pada orangtua. Anak yang bahagia membuat orangtua merasa tenang dan percaya diri dalam mendampingi proses belajar anak.
Beatriks menilai, perjalanan dari rumah ke sekolah lebih tidak sekadar langkah fisik anak. Perjalanan ini juga merupakan transisi emosional dan psikologis yang membutuhkan dukungan penuh dari orangtua dan lingkungan sekitar.
Saat anak datang ke sekolah, lanjutnya, ia berangkat dengan rasa ingin tahu, harapan, dan juga kecemasan. Tugas orang dewasa adalah memastikan bahwa mereka tidak hanya "masuk sekolah", tetapi juga siap bertumbuh dalam proses pembelajaran.
“Karena pendidikan yang baik tidak dimulai dari kelas atau kurikulum, tetapi dari relasi yang hangat, penuh cinta, dan saling memahami di rumah. Selamat memilih sekolah dengan bijak untuk anak yang bahagia, dan orang tua yang tenang,” imbuh Beatriks.